Malili adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan ibu kota Kabupaten
Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Indonesia. Malili terletak sekitar 565 km
dari Makassar.[1]
Menurut sejarahnya, Malili dahulu adalah
tempat bertemunya suku asli Padoe penduduk Luwu Timur yang disegani oleh
Datu Luwu. Suku ini adalah suku Padoe. Populasi suku Padoe di Luwu
Timur menyebar dari daerah Kawata, Malili, Mangkutana, Pakatan,
Wasuponda, Wawondula, Tabarano, Lioka, Togo, Balambano, Soroako,
Landangi, Matompi, Timampu, Karebe, dan lain-lain.
Padoe telah
mendiami daerah pegunungan dan lembah sejak tahun 1400. Banyak ksatria
pemberani yang hidup pada masa itu. Mereka dikenal dengan sebutah
"PONGKIARI". Kehebatan para Pongkiari ini terdengar oleh Datu Luwu,
pemimpin Kerajaan Luwu. Saat Kerajaan Luwu di Palopo menghadapi musuh
dari selatan, Datu Luwu meminta para Pongkiari untuk membantu dalam
peperangan.
Bantuan para Pongkiari bagi Kerajaan Luwu dalam
menghadapi raja-raja dari Selatan membuat Datu Luwu memberikan
penghormatan tersendiri kepada para Pongkiari dan seluruh suku Padoe.
Karenanya, Suku Padoe tidak diminta memberikan upeti kepada Datu Luwu.
Beberapa cerita rakyat tentang kehebatan Pongkiari ini menceritakan
bahwa konon Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti terbentuk
karena pertempuran para Pongkiari. Begitu dahsyatnya pertempuran itu,
membuat terciptanya kubangan yang sangat luas dan dalam sehingga
membentuk danau hingga saat ini. Namun seiring perkembangan zaman,
eksistensi Pongkiari berangsur-angsur hilang.
Suku Padoe
memiliki adat-istiadat, aturan adat, bahasa bahkan pola kepemimpinan
yang masih eksis hingga saat ini. Pada era pemberontakan DI/TII Kahar
Muzakkar di Sulsel, banyak orang Padoe lari meninggalkan tanah nenek
moyang mereka ke arah Sulawesi Tengah seperti Beteleme, Poso, Taliwan,
Parigi, juga sulawesi tenggara dan lain-lain. Hal ini menyebabkan
sebagian Suku Padoe tersebar dan berdiam di wilayaha Sulawesi Tengah
hingga kini.
Saat investor tambang nikel masuk ke wilayah suku
Padoe, sebagian besar penduduk asli sudah mengosongkan daerah wilayah
mereka. Sekitar 10 tahun kemudian saat kondisi sudah aman, banyak
eksodus kembali ke tanah nenek moyang mereka. Namun mereka menghadapi
kesulitan baru dalam melanjutkan hidup akibat tanah mereka yang telah
berubah fungsi menjadi daerah tambang. Sebagian dari mereka tetap
menetap di daerah Padoe .yang sekarang ini bertempat di belakang
bumper(bumi perkemahan)soroako.
Kini, setelah daerah Padoe
menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur, beragam kegiatan terus
dikembangkan untuk dapat menyejahterakan suku Padoe. Organisasi adat
yang berkembang sejak tahun 1970 PASITABE telah beberapa kali
menyelenggarakan pesta adat dan rapat dewan adat Padoe. Hingga kini
PASITABE tetap aktif dalam rangka konsolidasi dan pendampingan terhadap
kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat, tanah nenek moyang suku Padoe.
No comments:
Post a Comment