Sejarah Ke-balaelo-an Sassa Desa Sassa didiami oleh Suku Limolang yang
dipercaya sebagai suku yang berasal dari To’manurung. Hal ini dibuktikan
dengan bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Limolang, yang mana
juga merupakan Bahasa To’manurung. Bahasa tersebut dijadikan bahasa
sejarah lisan yang diabadikan secara turun temurun oleh Masyarakat
Sassa. Suku Limolang meyakini bahwa, To’manurung yang dikatakan terlahir
dari pohon bambu sebagai seorang wanita yang diturunkan oleh Tuhan.
Adapun Balaelo adalah sebutan untuk Kepala Masyarakat Hukum Adat Sassa
yang merupakan Suku Limolang. Dalam menjalankan pemerintahannya di masa
lalu, ke-kebalaelo-an memiliki struktur organisasi dengan fungsinya
masing-masing sebagai berikut: a. Balaelo berfungsi sebagai ketua adat
yang mengatur dan menjalankan aturan sesuai dengan tradisi adat. b.
To’minawa berfungsi sebagai juru bicara adat untuk menghubungkan Balaelo
dengan masyarakat dalam perkara adat. c. Wolang berfungsi sebagai
penasehat keamanan masyarakat adat.
Menurut Balaelo yang ada
sekarang ini, Masyarakat Adat Sassa mempunyai wilayah adat yang jelas
dengan batas-batasnya, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Takudi,
sebelah timur berbatasan dengan sungai Meli, sebelah barat berbatasan
dengan Sungai Binua, sebelah selatan berbatasan dengan Baebunta. Dalam
hal penguasaan terhadap tanah/hutan, dalam aturan adat dikenal istilah
Tana Balaelo yang berarti tanah milik bersama masyarakat kebalaeloan dan
Tanana Balaelo yang berarti tanah milik pribadi Balaelo. Mereka juga
mempunyai aturan adat tentang hutan. Apabila kelompok masyarakat ingin
memasuki hutan, maka dilakukan prosesi adat yang diawali dengan
pelepasan ternak peliharaan ke dalam hutan/lahan yang akan mereka garap.
Menurut Kepala Desa Sassa, pemindahan penduduk dari Rampi ke dalam
wilayah hutan yang ada di wilayah Kebalaeloan Sassa (sekarang menjadi
Dusun Pulao) sekitar tahun 60-an dilakukan melalui upacara dengan
pembayaran 1 bal kain putih serta sejumlah uang tebusan. Saat ini Kepala
Adat (Balaelo) sudah tidak memiliki lagi kewenangan penuh terhadap
pemanfaatan hasil hutan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, saat ini
warga masyarakat desa tersebut tidak memerlukan ijin kepala adat
(Balaelo) untuk memungut hasil hutan, sehingga siapapun dapat memperoleh
hasil dari hutan yang terdapat di wilayah Desa Sassa. Sebagai contoh,
masyarakat Dusun Pulao tidak memerlukan izin Balaelo untuk menebang
pohon di hutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa, masyarakat sudah tidak
lagi mentaati aturan-aturan adat. Dalam hukum adat terdapat prinsip
bahwa kewenangan yang dimiliki oleh kepala adat adalah diperoleh dengan
sendirinya sebagai pemberian dari masyarakat, dan bukan kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah. Namun sesuai dengan peraturan pemerintah81,
penentuan masih ada atau tidaknya masyarakat adat harus dilakukan
melalui penelitian oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan para
pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah bersangkutan,
LSM, dan instansi-instansi yang mengelola sumberdaya alam
No comments:
Post a Comment