I. PENDAHULUAN
Daerah sekitar bukit Kandora, Mengkendek, Tana Toraja adalah satu
tempat yang mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah budaya suku Toraja.
Sejarah Budaya suku Toraja menceritakan pada kita bahwa daerah ini
beberapa kali menjadi pusat kediaman salah seorang dari antara ketua
atau pimpinan tertinggi adat setempat. Tandilino Tobanua Puan, pemimpin
dan leluhur sebahagian terbesar pemimpin adat tertinggi dahulu kala di
Tana Toraja, berkedudukan di Sarimbano, Marinding, tiada berapa berapa
jauh dari kaki bukit tersebut. Di Sarimbano, Marinding inilah tempat
dibangun dan didirikan untuk pertama kalinya sebuah rumah “tongkonan”
‘rumah adat’, dalam sejarah budaya setempat terkenal dengan nama “ramba
titodo”, tongkonan hampir semua pimpinan adat 40 orang jumlahnya waktu
itu. Dalam tradisi setempat keempat puluh orang pimpinan adat setempat
itu disebut “Arruan Patang Pulo” (artinya ‘ empat puluh daerah adat
dengan pimpinan tertinggi bergelar arruan; pimpinan-pimpinan itu
terkenal juga dengan gelar “ampu lembang” ‘yang empunya daerah’, atau
“pararra’ “, suatu nama yang mengingatkan kita pada gelar para
“pararaka” di Jawa Tengah dahulu kala.
Selanjutnya, sejarah
datangnya arus pendatang baru ke daerah ini dengan pimpinan bergelar
”manurun di langi’ “ ‘yang turun dari langit’, menceriterakan antara
lain bahwa Puang Tamborolangi’ bersama adik kandungnya bernama Karaeng
Kasumba, datang ke daerah ini dan mendirikan istananya di kaki bukit
Kandora tersebut. Sampai kini ditunjukkan orang bekas-bekas kediaman
“menurun di langi’ ” tersebut di kaki bukit Kandora.
Di samping
peristiwa tersebut di atas itu, daerah sekitar bukit Kandora tersebut
dikenal juga sebagai daerah yang beradat-istiadat Sawerigading.
Penghuni daerah ini sampai dengan akhir perang dunia kedua, setiap hari
menghubungkan seluruh tindakannya dengan penghormatan kepada seorang
“puang abadi” yang bergelar “Puang Parranan” (artinya ‘raja pelindung
sepanjang masa’). Puang Parranan tersebut menurut tradisi setempat,
adalah istri pertama Sawerigading, yang menjadi batu dan disimpan sampai
kini di atas sebuah rumah ‘tongkonan’ di tengah desa Tengan di kaki
bukit Kandora. Tampuk pimpinan desa itu sejak dari dahulu berada dalam
tangan keturunan “Puang Jamallomo”, anak Sawerigading dengan puang
Parranan tersebut.
Seluruh gerak gerik dalam pergaulan
sehari-hari di desa ini tiada dapat dipisahkan dari penghormatan kepada
batu suci penjelmaan istri Sawerigading tersebut. Membawa air dari
sumur atau pancuran dalam bumbung bambu, harus dengan sikap
mendahulukan mulut bumbung bambu ke arah persemayaman Puang Parranan
tersebut. Memikul air dalam bumbung bambu dengan mengarahkan pangkal
bumbung ke tempat kediaman Puang Parranan, di desa ini adalah tidak
sopan dan akan mndapat tulah dari leluhur mulia dan keramat itu. Dahulu
kala bila seseorang bergelar puang dari Makale, Sangngalla’, dan
Mengkendek menginjakkan kaki di desa ini, harus mengeluarkan kasutnya
bila ia dalam keadaan barkasut, turun dari atas punggung kudanya bila ia
menunggang kuda, membuka topinya bila ia bertopi dan yang paling utama
ialah pantang disapa dengan gelar ” puang” sementara ia berada dalam
desa ini, karena ia harus tunduk kepada satu-satunya “puang” di dalam
desa ini ialah Puang Parranan tersebut.
Satu diantara tradisi
yang menarik dari penghuni desa ini ialah upacara syukuran “merok”
terkenal dengan sebutan “merok Sawerigading”. Tradisi ini berbeda
dengan upacara “merok” yang berlaku umum di seluruh Tana Toraja.
Upacara merok yang berlaku umum di Tana Toraja acaranya dilaksanakan
berhari-hari, bahkan harus didahului oleh acara-acara tertentu yang
dilaksanakan setahun dua kali atau lebih sebelumnya. Upacara”merok
Sawerigading” tersebut acaranya dilakukan hanya sehari semalam saja,
tanpa didahului acara-acara lainnnya. Upacara ini dilaksanakan dengan
mempersembahkan seekor kerbau hitam, putih bulu ujung ekornya, putih
warna kuku kedua kaki belakangnya. dalam bahasa Toraja kerbau seperti
itu disebut “tedong samara”. Upacara itu dipusatkan pada kediaman Puang
Parranan tersebut. Dalam melaksanakan upacara itu, beberapa buah batu
keramat yang bergelar “Puang Parranan penjelmaan “Puang Pindakati, istri
pertama Sawerigading tersebut, diturunkan dari atas rumah, lalu
dimandikan dan diberi pakaian baru (maksudnya diberi bungkusan yang
baru). Persembahan, dalam bahasa toraja disebut “pesung” diletakkan
oleh petugas di depan rumah kediaman Puang Parranan, di depan 3 buah
batu. Sebuah dari batu itu berbentuk seekor angsa yang sedang duduk
menengadah ke langit. Duah buah yang lain terletak bersusun dalam
bentuk lingga-yoni, lambang kekuasaan dan kesuburan, semacam phallus
cultus. Upacara “merok sawerigading” tersebut dimeriahkan dengan
tari-tarian kesukaan seperti : ma’gellu’, ma’gandang, ma’nimbong dan
ma’bugi’ yang dilaksanakan pada malam menduhului upacara. Sepanjang
malam itu juga, ‘tominaa’ ‘ahli dan petugas’ upacara menyanyikan hymne
“passomba tedong”, pujaan pada kerbau’. Versi lisan Sawerigading
diceritakan malam itu juga.
II. MASALAH
Sampai dewasa
ini prasejarah Indonesia terbatas pada beberapa peristiwa sejarah yang
terjadi di Sumatra, Jawa, Bali. Prasejarah diluar ketiga pulau itu,
antara lain prasejarah Sulawesi Selatan, belum banyak mandapat perhatian
ahli sejarah. Cyclus 1 La Galigo menurut R.A Kern adalah sebuah mythos
suku Bugis yang mengandung data sejarah suku Bugis di daerah-daerah
Sulawesi Selatan /Tengah/Tenggara, bahkan juga sampai ke daerah Maluku
dan Nusa Tenggara dan daerah lain. Tetapi siapakah sebenarnya
Sawerigading itu ? Apakah ia hanya semacam personifikasi petualangan
suku Bugis dahulu kala ke seluruh pelosok Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara dan kedaerah lain-lain, ataukah ia benar-benar seorang
bangsawan makdara takku ‘murni’ pendiri sebuah kerajaan tertua di daerah
Luwu? “Dan di manakah letaknya pusat kerajaan Luwu itu karena orang
Wotu menjelaskan bahwa merekalah orang luwu asli. Kota Wotu adalah
pusat kerajaan Luwu dahulu kala menurut mereka. Mereka menunjukkan
sebidang tanah di tengah-tengah kota Wotu sekarang ini sebagai bekas
tempat istana raja Luwu yang pertama. Sebatang pohon kayu, dalam bahasa
Wotu disebut pohon ‘tamalilu’ ‘kenangan abadi’, tumbuh dipinggir bekas
pusat kerajaan itu, dikatakan sudah berumur ratusan tahun, sebab ditanam
sendiri oleh Sawerigading sebelum berangkat ke tanah Cina. Menurut
keterangan, di seluruh daerah Wotu tidak ditemukan pohon ‘tamalilu’
selain yang ditanam oleh Sawerigading itu.
Selanjutnya, apakah
versi lisan sawerigading di Kandora, Mengkendek, Tana Toraja itu,
hanyalah sebuah mythos pula yang menunjukkan semacam pengaruh suku atau
budaya suku Bugis di daerah ini ? Sudah jelas versi lisan Sawerigading
di Tana Toraja tersebut adalah sebuah mythos yang memuat data-data
sejarah lokal. Jamallomo, anak Sawerigading adalah “pangngala tondok”
‘pendiri desa’ Kandora. tradisi dalam desa Kandora tersebut menunjukkan
titik peralihan dari sejarah kekuasaan ‘tomakaka’ (semacam
‘Urdemokratie’) kepada kekuasaan “kapuangan” (semacam ‘Arstokratie’) di
daerah Makale, Tana Toraja dan di daerah Duri. Enrekang dahulu kala
Pemimpin daerah Tallu Lembangna (Makale, Sangngalla,Mengkendek) di
TanaToraja, dan daerah Tallu Batupapan (Alla’, Malua’, Buntubatu) di
Duri. Enrekang dahulu kala menganggap dirinya keturunan Puang Pindakati
(dalam cyclus Bugis disebut We Pinrakati) di Kandora, Tana Toraja
tersebut. Versi lisan Sawerigading di Kandora Tana Toraja itu
bagaimanapun juga menunjukkan hubungan prasejarah Tana Toraja dengan
prasejarah suku Bugis dahulu kala.
Bagaimanapun juga dengan
budaya suku Toraja dan budaya suku Bugis ? Adakah hubungan dan
prasejarah antara kedua budaya itu dahulu kala ? Bahasa Makassar, Bugis,
Mandar, Toraja oleh Roger Mills dikatakan berasal dari satu bahasa
induk dahulu kala yang disebutnya “Proto South Sulawesi Language”. Lalu
bagaimana dengan budaya Sulawesi Selatan dahuu kala? Adakah juga
hubungan dan persamaan antara budaya Makassar, Bugis, Mandar, Toraja
dahulu kala ? Versi lisan Sawerigading Tana Toraja tersebut menunjukkan
beberapa aspek kesamaan budaya Bugis Toraja dahulu kala, antara lain
tentang kepercayaan terhadap kehidupan sesudah kematian yang menjadi
inti versi lisan Sawerigading Tana Toraja itu dan ditemukan dalam versi
Bugis pada bahagian yang menceritakan perjalanan Sawerigading ke dunia
arwah, disebut dalam versi Bugis “Laona Sawerigading Mammusuk ri
Pamasareng”, ‘Sawerigading mengunjungi dan memerangi dunia arwah’.
Bahagian cyclus 1 La Galigo versi Bugis tersebut menunjukkan
persejajaran antara kepercayaan suku Toraja dan suku Bugis dahulu kala
terhadap alam arwah orang mati yang disebut “pamasareng” dalam bahasa
Bugis dan dalam bahasa Toraja tersebut “puya”. Kepercayaan inilah yang
menjadi latarbelakang pemotongan hewa, terutama kerbau, pada upacara
penguburan jenazah orang mati di Tana Toraja yang menarik minat turis
berbondong-bondong berkunjung ke daerah Tana Toraja akhit-akhir ini.
III. TUJUAN
Penelitian ini berusaha mengungkapkan sekelumit prasejarah suku Toraja,
khususnya sejarah “pangngala tondok”, ‘pendiri desa yang pertama’
dahulu kala di daerah ini, antara lain pendiri desa Kandora di Kecamatan
Mengkendek tana Toraja yang diceritakan dalam versi lisan Sawerigading
Tana Toraja tersebut.
Selanjutnya, tulisan ini berusaha
mengungkapkan beberapa aspek sosioreligio-kultural versi lisan
Sawerigading Tana Toraja tersebut, antara lain dan terutama tentang
kepercayaan suku Toraja terhadap “puya”, ‘dunia arwah’. Pokok pikiran
orang Toraja yang melatar belakangi kepercayaan mereka terhadap alam
arwah itu dapat juga ditemukan dalam “kada toma’kayo” ‘mada petugas
upacara kematian’ pada mengantarkan arwah jenazah orang mati ke dunia
puya tersebut, dan juga dalm “badong ossoran” ‘mada dukacita’ yang
dilagukan pada upacara kematian di daerah ini.
Oleh FRANS SOSANG P,S.Sos
No comments:
Post a Comment